Serangan Stroke Kedua

-

Pertanyaan Jennifer, Semarang:

Kakak saya (38) terserang stroke kedua. Lengan kiri dan sebagian kaki kirinya mati rasa, otot wajah sebelah kiri, termasuk bibir sulit digerakkan. Terapi apa yang bisa dilakukan?

Jawaban Prof Dr. dr Purwantyastuti:

Serangan stroke yang kedua biasanya memang lebih parah dan lebih membawa dampak buruk dibandingkan serangan pertama. Seandainya setelah serangan yang pertama, tekanan darah kakak Anda dapat dikendalikan, mungkin tidak akan terjadi serangan kedua.

Saat ini, terapi yang dapat dilakukan hanyalah fisioterapi yang rutin sampai kekuatan otot dan kemampuan motorik kakak Anda pulih kembali, walau sulit untuk mencapai tingkat pemulihan 100%. Sebab, pada kasus kakak Anda, tampaknya penanganan terhadap serangan stroke kedua agak terlambat sehingga menimbulkan kelumpuhan pada sebagian organ tubuh. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Brokoli Mampu Cegah Stroke

-
Gambar
Mengonsumi buah-buahan dan sayuran terbukti mampu menurunkan risiko penyakit jantung, kanker, dan banyak penyakit lainnya. Demikian halnya dengan brokoli yang disebut-sebut dapat mencegah terjadinya stroke. Tim ahli epidemiologi dari Harvard University, AS, pernah melakukan penelitian pada 75.000 perempuan. Para periset menemukan setiap porsi harian buah dan sayuran dapat mengurangi insiden stroke ischemic sampai 7%. Secara garis besar empat di antara lima kasus stroke adalah ischemic, yang disebabkan gumpalan darah yang menyumbat aliran darah ke otak. Berarti perempuan yang menambahkan beberapa iris brokoli ke dalam makanan dapat menurunkan risiko stroke sampai seperempatnya. Hingga kini para ahli belum menemukan penjelasan kekuatan yang menghancurkan gumpalan darah ini. Para ahli menduga, diet tinggi hasil bumi mengurangi risiko stroke, karena jenis makanan ini cenderung rendah lemak dan kaya dengan bahan-bahan yang bersahabat dengan jantung, seperti serat, folate, dan potassium. Per...
Baca selengkapnya

Rokok Elektrik Berdampak Buruk, Aturan Belum Jelas

-
  JAKARTA, KOMPAS - Rokok elektrik terbukti tidak efektif mengurangi konsumsi rokok konvensional pada masyarakat. Penggunaannya justru berganda sehingga dampak buruk yang ditimbulkan semakin besar. Di sisi lain, aturan pengendalian rokok elektrik masih belum jelas. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2019 mencatat, prevalensi perokok elektrik pada usia di atas 15 tahun sebesar 2,10 persen. Jumlah ini tidak jauh berbeda dari tahun 2017 yang tercatat sebesar 2,32 persen. Sementara itu, dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah perokok elektrik yang juga menggunakan rokok konvensional sebesar 96,7 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat yang merokok elektrik juga merokok secara konvensional. Faizal Rahmanto Moeis dari tim riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) mengatakan, dampak yang ditimbulkan dari merokok konvensional dan elektrik menjadi semakin berat. "Perokok ganda memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi yang lebih tingg...
Baca selengkapnya