Mewaspadai Hipertensi si Pembunuh Senyap
Bila tidak dilakukan penanganan, sekitar 70% pasien hipertensi kronis akan meninggal karena jantung koroner atau gagal jantung.
TAHUN ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi) sebagai fokus perhatian dalam peringatan Hari Kesehatan Dunia yang diperingati setiap 7 April.
Tentu bukan tanpa alasan WHO mengangkat masalah hipertensi. Diperkirakan, satu dari tiga orang dewasa di dunia menderita penyakit tersebut. Meski diderita banyak orang, namun hipertensi seolah tersembunyi. Banyak orang tak menyadari keberadaannya karena hipertensi tidak selalu menimbulkan gejala.
Menurut WHO, hipertensi telah menyebabkan 9 juta kematian per tahun akibat komplikasi yang ditimbulkan termasuk serangan jantung dan stroke. Fakta itulah yang menyebabkan hipertensi dijuluki the silent killer alias si pembunuh senyap.
Kondisi di Indonesia rupanya tidak jauh berbeda. "Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, pada orang dewasa angka kejadian hipertensi mencapai 31%. Artinya, satu dari tiga orang dewasa di Indonesia terkena hipertensi,"ujar Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PABDI) Idrus Alwi di Jakarta, Senin (8/4).
Idrus menjelaskan, penyakit hipertensi pada dasarnya adalah kondisi tekanan darah yang setelah diperiksa secara berulang hasilnya konsisten melebihi 140/90 mm Hg.
Ada dua jenis hipertensi yakni hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer tidak memiliki penyebab spesifik. Sekitar 90%-95% hipertensi adalah jenis primer. Adapun yang sekunder merupakan hipertensi yang disebabkan oleh kelainan atau penyakit tertentu, misalnya, karena stres, sakit ginjal, preeklamsia pada ibu hamil, atau apnea (gangguan napas saat tidur).
Pada kesempatan sama, dr Ika Prasetya Wijaya, SpPD memaparkan berbagai hasil studi menunjukkan hipertensi meningkatkan risiko kematian dan komplikasi penyakit. Ia menjelaskan, meningkatnya tekanan darah yang terus-menerus pada penderita hipertensi membuat otot jantung menebal dan jantung tidak efektif dalam memompa darah. Kondisi ini menjadi sumber penyakit gagal jantung.
Kuatnya arus tekanan darah juga membuat pembuluh darah mudah pecah terutama pembuluh yang halus di sekitar otak. Karena itulah hipertensi juga bisa menyebabkan kerusakan jaringan otak.
"Berdasar data statistik, bila tidak dilakukan penanganan, sekitar 70% pasien hipertensi kronis akan meninggal karena jantung koroner atau gagal jantung, 15% terkena kerusakan jaringan otak, dan 10% mengalami gagal ginjal," jelas Ika.
Tidak bergejala
Menurut Ika, sebanyak 80% penderita hipertensi tidak merasakan gejala apa pun. Hal itu umumnya terjadi pada kasus hipertensi primer. "Penemuan hipertensi biasanya terjadi pada saat pemeriksaan rutin atau kunjungan ke dokter."
Beberapa gejala hipertensi primer yang mungkin dirasakan yakni sakit kepala di pagi hari sewaktu bangun tidur, kebingungan, telinga berdenging, jantung sering berdebar-debar, penglihatan kabur, mimisan, penemuan darah dalam urine.
Pada hipertensi sekunder, Ika menjelaskan, cara mengatasinya harus dengan menghilangkan penyebabnya. Adapun pada hipertensi primer, meski tidak memiliki penyebab spesifik, ada sejumlah faktor risiko yang memicu kehadirannya. Misalnya, risiko hipertensi meningkat bila kadar kolesterol serta gula dalam darah penderitanya tinggi.
"Mengurangi faktor risiko hipertensi primer antara lain dengan gaya hidup yang sehat, berhenti merokok, menghindari kegemukan, membatasi konsumsi garam maksimal satu sendok teh per hari, dan olahraga 30-45 menit per hari," ujar Ika.
Gejala hipertensi, lanjut Ika, harus diketahui sejak dini dan ditangani secara tepat. Hipertensi yang sudah menahun bisa dikendalikan dengan bantuan obat-obatan.
Ia menegaskan pemeriksaan teratur merupakan kunci menekan hipertensi dan komplikasinya. "Sejauh ini peningkatan kesadaran dan kontrol atas hipertensi tercatat telah berhasil menekan risiko komplikasinya hingga 50%," papar Ika. (H-3)
soraya@mediaindonesia.com
Komentar
Posting Komentar