Rokok Elektrik Berdampak Buruk, Aturan Belum Jelas

 JAKARTA, KOMPAS - Rokok elektrik terbukti tidak efektif mengurangi konsumsi rokok konvensional pada masyarakat. Penggunaannya justru berganda sehingga dampak buruk yang ditimbulkan semakin besar. Di sisi lain, aturan pengendalian rokok elektrik masih belum jelas.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2019 mencatat, prevalensi perokok elektrik pada usia di atas 15 tahun sebesar 2,10 persen. Jumlah ini tidak jauh berbeda dari tahun 2017 yang tercatat sebesar 2,32 persen.

Sementara itu, dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah perokok elektrik yang juga menggunakan rokok konvensional sebesar 96,7 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat yang merokok elektrik juga merokok secara konvensional.

Faizal Rahmanto Moeis dari tim riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) mengatakan, dampak yang ditimbulkan dari merokok konvensional dan elektrik menjadi semakin berat. "Perokok ganda memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi yang lebih tinggi," ujarnya di Jakarta, Kamis (6/8/2020).

Faizal menambahkan, analisis PKJS UI menunjukkan perokok ganda memiliki risiko sangat besar untuk terkena penyakit tidak menular, seperti asma, stroke, gagal ginjal dan rematik. Selain itu, perokok ganda usia di atas 40 tahun juga  lebih rentan mengalami diabetes, jantung, dan kanker.

Dampak buruk lain ialah penurunan produktivitas. Pada perokok ganda ditemukan memiliki produktivitas yang lebih rendah sekitar 0,69 jam per minggu dari perokok tunggal.

Sementara itu, pengeluaran kesehatan perokok ganda lebih tinggi Rp 269 per kapita per bulan dibandingkan perokok konvensional. Pemakai rokok elektronik memiliki pengeluaran kesehatan lebih besar sekitar Rp 15.635 per kapita per bulan dibandingkan pengguna rokok konvensional.

"Pengendalian rokok konvensional untuk mencegah pengguna rokok elektrik baru sangat mendesak. Ini terutama untuk mencegah adanya perokok elektrik baru di usia dini," ucap Faizal. 

Pengendalian 

Analis Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febri Pangestu, menuturkan pemerintah telah berupaya  untuk mengendalikan konsumsi rokok elektrik melalui penarikan cukai tembakau pada cairan rokok elektrik senilai 57 persen. Hal itu diatur dalam peraturan menteri keuangan.

Pemerintah juga berupaya mengendalikan konsumsi rokok konvensional. Total beban pajak atas rokok di Indonesia mencapai 63,5 persen yang termasuk pada tarif cukai, pajak rokok, dan pajak pertambahan nilai. "Secara tren, harga rokok di Indonesia juga meningkat dari tahun ke tahun, merespons kebijakan tarif cukai dan harga jual eceran," katanya.

Kepala Subbidang Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Ari Wulan Sari menambahkan, aturan khusus terkait pengendalian rokok elektrik memang belum dikeluarkan pemerintah. Aturan pengendalian tembakau masih merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. (TAN)      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Brokoli Mampu Cegah Stroke